FILSAFAT SAINS SEBAGAI PENJABARAN PEMIKIRAN ILMIAH DIKEHIDUPAN KAMPUS

Tugas Filsafat Sains

FILSAFAT SAINS SEBAGAI PENJABARAN PEMIKIRAN ILMIAH DI KEHIDUPAN KAMPUS





OLEH:
KELOMPOK I

1.      DICKY SAPUTRA                                                    (FIC 17 009)
2.      ASTI NEDILA                                                          (F1C 17 007)
3.      NUR SILA ALISI                                                     (F1C 17 083)
4.      ANDI BATARI KUMALA TANTU                       (F1C 17 001)
5.      SENSIA PEBRIANI                                                (F1C 17 089)
6.      SITI YULIAWATI                                                   (F1C 17 027)




JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSIATAS HALU OLEO
KENDARI
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kesempatan, dan karunia sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat Sains tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Filsafat Sains sebagai Penjabaran Pemikiran Ilmiah di Kehidupan Kampus”. Dalam makalah ini, terdiri dari bab – bab dan subbab yang menarik untuk di baca bagi para peminatnya. Tersusunnya makalah ini berkat dari Bapak Dosen Drs. H. Muh. Natsir, S.Si., M.Si. yang telah memberikan kepercayaan dan bimbingan yang baik sehingga makalah ini tersusun dengan baik dan juga disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah. Selain itu juga kepada teman – teman kelompok yang memberikan support terkait makalah ini.
  “Tiada gading yang tak retak” sebagaimana makalah yang masih belum sempurna. Namun demikian penyusun hanya bisa berusaha untuk memberikan yang terbaik. Semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.


Kendari,     Maret 2018


Penyusun,
Kelompok I
                          







DAFTAR ISI

DAFTAR ISI   . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
BAB I PENDAHULUAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.1  Latar Belakang  . . . . . . . . . . . . . .  .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . . . . 1
1.2  Rumusan Masalah  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.3  Tujuan   . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
BAB II PEMBAHASAN  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
2.1 Definisi Filsafat Sains . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
2.1.1 Tokoh – Tokoh Filafat Sains . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
2.2 Berpikir Ilmiah  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .9
2.2.1 Konsep Berpikir Ilmiah  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  9
2.2.2 Hakikat Berpikir Ilmiah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .10
2.2.3 Metode dan Langakah – Langkah Berpikir Ilmiah . . . . . . . . . . . . . . . . 11
2.3 Filsafat Sains Sebagai Penjabaran Pemikiran IlmiHdi Kehidupan . . . . . . . . . . .17
BAB III PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .21
3.1 Kesimpulan  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
3.2 Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . . . . . .22
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  23



















BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan ini ada tiga hal yang menjadi alat bagi manusia untuk mencari kebenaran, yaitu filsafat, ilmu dan agama. Filsafat (philosophy) dianggap sesuatu yang sangat bebas karena ia berpikir tanpa batas. Agama (religion) mengedepankan wahyu/ilham dari Tuhan, yang kebenaranya bersifat absolute atau mutlak . Sedangkan ilmu (science) adalah sebuah perangkat metode untuk mencari kebenaran. Filsafat menggunakan pemikiran yang mendalam, sehingga seorang filosof mendapat kebenaran yang paling hakiki. Sedangkan ilmu pengetahuan, sebuah alat yang sangat sederhana, karena ia dapat digunakan oleh semua orang dalam kapasitas dan kemampuan masing-masing manusia. Pemahaman terhadap kedua aspek di atas (filsafat dan ilmu pengetahuan) sangat penting dalam kehidupan akademik.
 Filsafat dan sains menjadi cahaya bagi peradaban manusia. Keduanya memiliki titik awal yang berbeda, filosofi dikembangkan dengan menggunakan pendekatan spekulatif-reflektif, sementara sains menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Hubungan mengikat keduanya seperti dua sisi mata uang. Filsafat melahirkan sains dan sains berkontribusi pada filsafat. Selain itu, filsafat dan sains memiliki tujuan yang sama untuk mencari kebenaran demi kesejahteraan umat manusia. Hasil yang dihasilkan dari kedua kebenaran itu relatif dan relatif, sehingga orang akan selalu mengeksplorasi, merevisi, dan merekonstruksi filosofi dan pengetahuan yang sudah ada, tujuannya adalah untuk menemukan kebenaran baru.
Filsafat sains memberikan sebuah terobosan dalam pemikiran – pemikiran yang positif dan logis. Namun di samping itu juga memberikan efek yang cukup buruk bagi para aktor peran utama, sehingga muncul perang teori antara para aktor. Masing – masing para aktor ingin menang walaupun cara yang digunakan sudah menyimpang dari yang diharapkan.
Berpikir adalah proses atau kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan. Berpikir merupakan serangkaian kegiatan dari budi rohani seseorang yang menciptakan pengertian, melakukan penalaran, dan mengolah ingatan berdasarkan pengalaman terdahulu sebagai tanggapan terhadap keadaan sekeliling. Berpikir dapat membuahkan beberapa hasil-hasil pemikiran baik atau rumusan solusi dari suatu permasalahan.

1.2  RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan filsafat sains?
2.      Bagaimana  dengan berpikir ilmiah ?
3.      Bagaimana filsafat sains sebagai penjabaran pemikiran ilmiah di kehidupan kampus?

1.3  TUJUAN
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Dapat mengetahui definisi dari filsafat sains
2.      Dapat mengetahui tentang berpikir ilmiah
3.      Dapat mengetahui filsafat sains sebagai penjabaran pemikiran ilmiah di kehidupan kampus










BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI FILSAFAT SAINS
Sebelum melangkah lebih mendalam terkait definisi tentang filsafat sains, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi perkata dari filsafat dan sains. Kata filsafat berasal dari kata Yunani yaitu philosophia, terdiri dari kata philos  yang berarti cinta dan sahabat dan kata sophia yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Jadi Philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. 
Sains (science) atau ilmu kealaman adalah ilmu yang mempelajari tentang alam baik yang bersifat mikroskopis maupun makroskopois. Connant dalam science, Man, and society, menyatakan bahwa masyarakat awam memandang sains sebagai aktifitas manusia yang bekerja dalam laboratorium dan yang penemuannya memungkinkan berjalannya industri modern dan pembuatan obat – obatan secara besar – besaran. Kemeny, seorang ahli filsafat, mendefinisikan sains sebagai semua pengetahuan yang diperoleh dengan metode ilmiah. Metode ilmiah yang dimaksud merupakan siklus induksi, deduksi, verifikasi, pencarian terus – menerus untuk memperbaiki teori yang pada dasarnya dikkemukakkan secara tentative. Sedangkan dalam Encyclopedia Americana dikemukakan bahwa sains merupakan pengetahuan positif yang sistematis. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan positif adalah pengetahuan yang dipahami oleh manusia melalui inderanya. Dengan demikian sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui indera dan tersusun secara sistematis.  
Dari pengertian di atas dapat di disimpulkan bahwa filsafat sains merupakan kajian ilmu pengetahuan yang memikirkan akan alam besar. Selain itu, juga merupakan pemikiran ilmu yang sistematis dalam metode ilmiahnya.

Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation, yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
2.1.1 Tokoh – Tokoh dari Filsafat Sains
Pada awalnya, manusia menggunakan mitos untuk jawaban pertanyaan tentang alam. Mereka percaya bahwa para dewalah yang merupakan sumber segala yang ada. Suasana yang besifat mitologis ini dapat di anggap sebagai awal manusia berpikir tentang “sesuatu” yang ada di balik segala peristiwa yang dapat di amati oleh inderamya. Kemudian manusia berupaya untuk menemukan jawaban dengan cara terus – menerus berpikir tentang masalah yang dihadapinya serta melakukan pengamatan terhadap segala sesuatu yang diduga dapat membantu memcahkan masalahnya. Beberapa oramg filsuf Yunani sekitar abad ke VI – II SM telah berupaya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang amat mendasar tentang apakah asal mula atau dasar dari segala yang ada di alam ini.
1.       THALES
Thales lahir sekitar tahun 625-624 s.M, dan mangkat sekitar tahun 547-546 s.M. ayahnya bernama Exaneyas dan ibunya bernama Cleobulina. Para filsuf barat terutama yunani menganggap bahwa Thales adalah filosof pertama. Tetapi Thales tidak menulis buah fikirannya. Ajarannya di sebarkan oleh murid-murid nya dari waktu ke waktu melalui cerita, baru kemudian Aristoteles menulisnya dalam sebuah buku.
Prestasi besar Thales di tandai dengan sejumlah karyanya:
o Berhasil meramalkan gerhana matahari pada tanggal 28 mei 585 s.M.
o Menemukan cara untuk mengukur tinggi piramida dan jarak kapal di laut.
o Menerangkan  teori tentang banjir tahunan di Mesir.
Prestasi itu tidak dapat di lepas dari pengalamannya di Mesir, karena pekerjaanya sebagai pedagang yang sering berlayar ke Mesir. Mengenai filsafatnya tentang alam ini yang paling utama ialah Apa yang menjadi Asal dari Alam ini?. Thales menemukan jawabannya , bahwa “Air”lah yang merupakan inti dasar daripada alam semesta ini. Semua berasal dari air dan akan kembali sebagai air pula. Jadi semua kejadian alam ini hanyalah air belaka.
Pendapat Thales ini berdasarkan pengalamannya sehari-hari, sebagai pedagang yang selalu melintasi lautan yang begitu luas, dia melihat bagaimana ombak laut bisa menggulung dan membinasakan juga memberi kehidupan bagi para nelayan dan saudagar. Dan di Mesir dia melihat bagaimana sungai Nil memberi kesuburan bagi orang-orang mesir, dengan air mereka bisa bercocok tanam dan keperluan hidup sehari-hari. Begitulah air memberikan pengaruh besar terhadap Thales mengenai pikiran dan pandangannya tentang alam.
Kepercayaan bathin Thales masih animism. Animism ialah kepercayaan, bahwa bukan saja barang yang hidup mempunyai jiwa, tetapi juga benda mati. Kepercayaannya kesana di kuatkan oleh pengalaman pula. Besi berani (maghnet) dan batu api di gosok sampai panas menarik barang yang dekat dengannya. Ini dipandangnya sebagai kodrat tanda berjiwa.[11] Sekianlah tentang filsuf pertama yunani ini. Pandangannya menyatukan semua pada air, “Air Asal dan Akhir”.
2.        ANAXIMANDROS
Dia adalah murid Thales. Ahli Astronomi dan Ilmu Bumi. Putra dari Praxiades ini hidup sekitar tahun 610-547 s.M. dia limabelas tahun lebih muda dari Thales. Dia adalah filsuf pertama yang menuliskan buah fikirannya kedalam buku, sebab itu karangannya di pandang sebagai buku filosofi yang paling tua.
Anaximandros juga mencari prinsip yang dapat memberikan pengertian mengenai kejadian di alam ini, tetapi dia tidak memilih salah satu anasir yang bisa diamati pancaindera.[12] Meskipun Anaximandros merupakan murid Thales, namun ia menjadi terkenal justru karena mengkritik pandangan gurunya mengenai air sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Menurutnya, bila air merupakan prinsip dasar segala sesuatu, maka seharusnya air terdapat di dalam segala sesuatu, dan tidak ada lagi zat yang berlawanan dengannya. Namun kenyataannya, air dan api saling berlawanan sehingga air bukanlah zat yang ada di dalam segala sesuatu. Karena itu, Anaximandros berpendapat bahwa tidak mungkin mencari prinsip dasar tersebut dari zat yang empiris. Prinsip dasar itu haruslah pada sesuatu yang lebih mendalam dan tidak dapat diamati oleh pancaindera. Anaximandros mengatakan bahwa prinsip dasar segala sesuatu adalah to apeiron.[13] “Apeiron” itu tidak dapat di rupakan tidak ada yang menyamainya di dunia ini. Karena segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan rupanya dengan pancaindera kita, adalah barang yang mempunyai akhir.
Jika kita melihat sifat-sifat yang di berikan pada apeiron, yaitu sesuatu yang tak terhingga, tak terbatas, tak dapat dirupakan dan disamakan dengan benda alam, kita dapat menduga barangkali yang menjadi prinsip dasar alam ini adalah Allah SWT.
Kekurangan informasi tentang Anaximandros mengakibatkan banyak lowongan dalam pengetahuan kita tentang ajaran filsuf ini. Namun demikian apa yang kita ketahui sudah cukuplah untuk menarik kesimpulan bahwa Anaximandros adalah betul-betul orang yang mempunyai daya fikir tinggi. Ia membuka jalan baru untuk mengerti dunia, yang sangat mempengaruhi sejarah filsafat selanjutnya.[14] Itulah suatu langkah penting menuju pengertian rasional tentang dunia. Tetapi kita harus mengakui juga bahwa observasi ini masih jauh dari memuaskan.

3.         ANAXIMENES
Anaximenes kira-kira hidup sekitar tahun 585-525 s.M, dia adalah murid langsung dari Anaximandros.[15] Tidak banyak naskah yang mengisahkan tentang riwayat hidup Anaximenes, namun ia merupakan filsuf terakhir dari kota Miletos, karena pada tahun 494 s.M kota Miletos diserang oleh bangsa Persia. Dan para ahli pikir dari kota Miletos melarikan diri dari, maka lenyaplah kota Miletos sebagai pusat pengajaran filsafat Alam.
Mengenai ajaran filsafat Anaximenes juga mempermasalahkan tentang alam ini, berbeda dari gurunya Anaximandros, dia menganggap bahwa asal-usul dari alam ini adalah udara. Dia berbeda pendapat dari gurunya karena beranggapan bahwa Salah satu kesulitan untuk menerima filsafat Anaximandros tentang to apeiron yang metafisik adalah bagaimana menjelaskan hubungan saling memengaruhi antara yang metafisik dengan yang fisik. Karena itulah, Anaximenes tidak lagi melihat sesuatu yang metafisik sebagai prinsip dasar segala sesuatu, melainkan kembali pada zat yang bersifat fisik yakni udara.[16]
Sebagai ahli ilmu alam, Anaximenes menggunakan pengalaman bahwa udara yang meliputi dunia ini menjadi sebab segala yang hidup. Kalau tak ada udara, tak akan terjadi yang lahir ini dengan beberapa macam dan ragamnya.[17] Anaximenes juga menulis  suatu buku, dan dari buku itu hanya satu fragmen yang di simpan.[18]
4.         PYTHAGORAS
Pythagoras  lahir di pulau Samos, tahun kelahirannya diperkirakan sekitar tahun 570 s.M. dan mangkat sekitar tahun 570 s.M. kira-kira sekitar tahun 530 s.M. atau sekitar umur 40 th ia pindah ke Kroton, dekat Calabria (sekarang wilayah italia). Dia tinggal di sana kira-kira selama  20 th. Setelah itu Pythagoras dan pengikutnya berpindah ke Metapontion karena alasan politik. Dan dia di bunuh oleh muridnya sendiri yang membelot di kota tersebut.
Dalam filsafatnya ia berbeda dengan filosof terdahulu, tidak mempersoalkan azas pertama dari alam, tetapi mencari rahasia alam. Menurutnya alam ini tersusun sebagai angka-angka. Segala sesuatu dapat diterangkan atas dasar angka. Disini kita dapat melihat bahwa kecapkapannya dalam matematika mempengaruhi pada pemikiran filsafatnya.

5.        DEMOKRITOS
Demokritos lahir kira-kira tahun 460 s.M. di Abdera, Thrakea (sekarang di timur laut yunani). kematiannya diperkirakan pada tahun 370 s.M. dia merupakan filsuf alam terakhir, karena sesudah masa Demokritos para filsuf tidak lagi memperdebatkan masalah alam ini, mereka mulai mencari filosof tentang manusia. Seperti para Sofism, Sokrates, Aristoteles, Plato. Dia merupakan anak dari keluarga yang kaya, pada masa mudanya, dia sering bepergian ke Mesir dan Negara-negara timur dengan hartanya itu.
Demokritos sebenarnya kurang cocok jika disebut sebagai filsuf pra-Sokrates, karena ia lebih muda dari Sokrates. Dia dikenal sebagai pemikir yang jenaka dan pelupa, sehingga dijuluki “the laughing philosopher.”
Seperti Empedokles dan Anaxagoras, Demokritos pun berpendapat bahwa realitas seluruhnya bukanlah satu, melainkan terdiri dari banyak unsur. Dalam hal ini mereka sepaham dengan ajaran pluralisme. Tetapi bertentangan dengan Empedokles dan Anaxagoras, ia berpikir bahwa unsur-unsur itu tidak dapat dibagi-bagi lagi. Karenanya unsur-unsur itu diberi nama “atom” (atomos: dari a-= tidak dan tomos= terbagi) atom-atom itu merupakan bagian-bagian materi yang begitu kecil, sehingga mata kita tidak mampu mengamatinya.


2.2  BERPIKIR ILMIAH
2.2.1 Konsep berpikir ilmiah
Definisi berpikir ilmiah yang diperoleh dari berbagai sumber dan diuraiakan sebagai berikut.
1.    Berpikir ilmiah adalah berpikir yang logis dan empiris. Logis: masuk akal, empiris: dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan (Hillway 1956).
2.    Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan atau menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan, dan penjelasan kebenaran.
3. Menurut Salam, pengertian berpikir ilmiah adalah:
1) proses atau aktivitas manusia untuk menemukan/mendapatkan ilmu;
dan
2) proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
4.  Berpikir ilmiah adalah kegiatan [akal] yang menggabungkan induksi dan
deduksi (Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer)
5.  Berpikir ilmiah yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian lebih kompleks disertai pembuktian-pembuktian (Menurut Kartono 1996 dalam Khodijah 2006: 118).
6.  Berpikir ilmiah merupakan proses berpikir/pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.
7.  Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara
tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subjektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir
8.  Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan, dan sebagainya secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Selain itu juga menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan, dan penjelasan kebenaran.
9. Berpikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat
10. Berpikir ilmiah adalah metode berpikir yang didasarkan pada logika deduktif dan induktif
2.2.2        Hakikat berpikir ilmiah
Sebagai makhluk hidup yang paling mulia, manusia dikaruniai kemampuan untuk mengetahui diri dan alam sekitarnya. Melalui pengetahuan, manusia dapat mengatasi kendala dan kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, tidak salah jika Tuhan menyatakan manusialah yang memiliki peran sebagai wakil Tuhan di bumi melalui penciptaan kebudayaan. Proses penciptaaan kebudayaan dan pengetahuan yang didapatkan oleh manusia di mulai dari sebuah proses yang paling dasar, yakni kemampuan manusia untuk berpikir. Meskipun sebenarnya hewan memiliki kemampuan yang sama dengan manusia dalam hal berpikir, makhluk yang terakhir hanya dapat berpikir dengan kemampuan terbatas pada insting dan demi kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan hewan, manusia dapat kesadaran manusia dalam proses berpikir melampaui diri dan kelangsungan hidupnya, bahkan hingga menghadirkan kebudayaan dan peradaban yang menakjubkan. Sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat dilakukan oleh makhluk Tuhan yang lain.
Dalam membahas pengetahuan ilmiah, kegiatan berpikir belum dapat dimasukkan sebagai bagian dari kegiatan ilmiah, kecuali ia memenuhi beberapa persyaratan tertentu yang disebut sebagai pola pikir. Berpikir dengan mendasarkan pada kerangka pikir tertentu inilah yang disebut sebagai penalaran atau kegiatan berpikir ilmiah. Dengan demikian, tidak semua kegiatan berpikir dapat dikategorikan sebagai kegiatan berpikir ilmiah, begitu pula kegiatan penalaran atau suatu berpikir ilmiah tidak sama dengan berpikir.
Contoh:
Ketika anak batitanya mengambil sebuah pisau, seorang ibu langsung
berusaha untuk mengambil sebilah pisau dari si anak karena sang ibu berpikir
pisau dapat membahayakan si anak. Kegiatan berpikir sang ibu belum dapat
dikategorikan sebagai kegiatan ilmiah karena ibu hanya mengira-ngira atau
mempergunakan perasaan dalam kegiatan berpikirnya. Berbeda dengan seorang
mahasiswa psikologi yang dengan sengaja memberikan sebilah pisau kepada
anak batita dalam rangka untuk mengetahui bagaimana sistem refleks si batita
dalam mempergunakan pisau. Mahasiswa memiliki alasan yang jelas yakni ingin mendapatkan pengetahuan tentang kemampuan seorang anak kecil sehingga memungkinkan kegiatannya disebut berpikir ilmiah.
2.2.3        Metode dan Langkah - Langkah Berpikir Ilmiah
Berpikir ilmiah merupakan proses berpikir/pengembangan pikiran yang
tersusun secara sistematis berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang
sudah ada (Eman Sulaeman). Berpikir ilmiah adalah metode berpikir yang
didasarkan pada logika deduktif dan induktif (Mumuh Mulyana Mubarak, SE).
Metode berpikir ilmiah tidak lepas dari fakta kejadian alam yang kebenarannya
selalu ada hubungannya dengan hasil uji eksperimental. Jika suatu teori tidak
bisa dibuktikan dengan uji eksperimental, dikatakan bahwa teori itu tidak bisa
diyakini kebenarannya karena tidak memenuhi kriteria sebagai sains (Goldstein
1980).
a. Metode Berpikir Ilmiah
Suatu pengetahuan ilmiah disebut sahih ketika kita melakukan penyimpulan dengan benar pula. Kegiatan penyimpulan inilah yang disebut logika. Dengan demikian, kita sudah mendapati hubungan antara syarat berpikir ilmiah dan kegiatan penyimpulan. Keduanya sama-sama memenuhi suatu pola pikir tertentu yang kita sebut logika. Logika diperoleh dengan metode induksi dan deduksi.


1) Metode Induksi
Metode induksi adalah suatu cara penganalisis ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus (individu) menuju pada hal yang besifat umum (universal). Jadi, cara induksi dimulai dari penelitian terhadap kenyataan khusus satu demi satu, kemudian diadakan generalisasi dan abstraksi, lalu diakhiri dengan kesimpulan umum. Metode induksi ini memang paling banyak digunakan oleh ilmu pengetahuan, utamanya ilmu pengetahuan alam yang dijalankan dengan cara observasi dan eksperimentasi. Jadi, metode ini berdasarkan pada fakta-fakta yang dapat diuji kebenarannya.
Dengan metode induksi maka kita dapat menarik kesimpulan yang dimulai dari kasus khusus/khas/individual untuk mendapatkan kesimpulan lebih umum/general/fundamental.
Contoh:
Kita tahu bahwa gajah memiliki mata, kambing juga memiliki mata, dan
demikian pula lalat memiliki mata. Dengan demikian, kita dapat menyimpulka secara induktif bahwa semua hewan memiliki mata.
Logika induktif memiliki berbagai guna bagi kegiatan berpikir ilmiah kita,
antara lain:
a) bersifat ekonomis bagi kehidupan praksis manusia. Dengan logika induktif kita dapat melakukan generalisasi ketika kita mengetahui/menemui peristiwa yang sifatnya khas/khusus; serta
b) logika induktif menjadi perantara bagi proses berpikir ilmiah selanjutnya.
Ia merupakan fase pertama dari sebuah pengetahuan yang selanjutnya dapat diteruskan untuk mengetahui generalisasi lebih fundamental lagi. Misalnya, ketika kita mendapatkan kesimpulan “semua hewan memiliki mata” lalu kita masukkan manusia ke dalam kelompok ini, bisa saja kita menyimpulkan “makhluk hidup memiliki mata”.



2) Metode Deduksi
Metode deduksi adalah kebalikan dari induksi. Kalau induksi bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus ke umum, metode deduksi sebaliknya yaitu bergerak dari hal-hal yang bersifat umum (universal) kemudian ditetapkan hal-hal yang bersifat khusus.
Pada umumnya, logika deduktif didapatkan melalui metode Sillogisme yang dicetuskan oleh Filsuf Klasik, Aristoteles. Silogisme terdiri atas premis mayor yang mencakup pernyataan umum, premis minor yang merupakan pernyataan tentang hal yang lebih khusus, dan kesimpulan yang menjadi penyimpul dari kedua penyataan sebelumnya. Dengan demikian, kebenaran dalam silogisme atau logika deduktif ini didapatkan dari kesesuaian antara kedua pernyataan (premis mayor dan minor) dan kesimpulannya.
Contohnya yang paling klasik:
a) semua manusia bisa mati,
b) Socrates adalah manusia, dan
c) jadi, Socrates bisa mati.
Contoh lain:
Premis Mayor: Mahasiswa Psikologi menjadi anggota KMF Fishum
Premis Minor: Ardi mahasiswa Psikologi_____________________
Kesimpulan: Ardi menjadi anggota KMF Fishum
Premis Mayor: Beberapa mahasiswa Psikologi rajin masuk kuliah
Premis Minor: Ardi mahasiswa Psikologi_____________________
Kesimpulan: Ardi mahasiswa yang rajin masuk kuliah
Kebenaran dari dua contoh penarikan kesimpulan tersebut terdapat pada
kesesuaian antara kedua premis dan kesimpulannya. Pada contoh pertama, premis
mayor memuat penyataan yang lebih general, sedangkan premis minor memuat
kasus individual. Kesimpulan yang diambil adalah sahih karena kedua kasus
(general menuju ke individual) didapatkan dan pernyataan bahwa Ardi adalah
anggota KMF Fishum adalah tepat, menurut pernyataan dan kesimpulan. Berbeda
dengan silogisme kedua di mana premis mayor belum dapat disebut memuat
suatu karakter pernyataan yang general. Akibatnya, premis minor meskipun
memiliki kandungan kasus yang khusus, tetapi kesimpulan yang diambil belum
dapat disebut sahih menurut kesimpulannya dan juga pernyataannya. Meskipun
Ardi adalah mahasiswa Psikologi, Ardi belum tentu termasuk mahasiswa yang
rajin masuk kuliah. Apalagi disebutkan dalam premis mayor bahwa tidak semua
mahasiswa Psikologi rajin masuk kuliah.
Penarikan kesimpulan melalui logika deduktif berguna dalam kegiatan
ilmiah, antara lain:
a) melalui logika deduktif didapatkan konsistensi suatu pernyataan. Ketepatan
menempatkan premis mayor dan minor berguna untuk mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan kedua premis tersebut. Manfaat ini tidak hanya dapat digunakan dalam kegiatan ilmiah kita, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan praksis sehari-hari; serta
b) silogisme atau penarikan kesimpulan dengan deduksi berguna untuk
mendukung pernyataan fundamental/general. Melalui silogisme kita mendapatkan berbagai varian kesimpulan yang mendukung pernyataan fundamental tanpa harus melakukan pengamatan secara langsung. Sebagai contoh, kita tidak perlu meneliti langsung ke planet Yupiter untuk mengetahui hukum revolusi dan rotasi sebuah planet, tetapi dicukupkan dengan mengambil kesimpulan secara deduktif dari penyataan bahwa semua planet mengalami perputaran terhadap matahari ataupun pada dirinya sendiri.
b. Langkah-langkah berpikir ilmiah
Metode ilmiah atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai scientific method
adalah proses berpikir untuk memecahkan masalah secara sistematis, empiris,
dan terkontrol. Langkah-langkah metode ilmiah:
1) merumuskan masalah,
2) merumuskan hipotesis,
3) mengumpulkan data,
4) menguji hipotesis, dan
5) merumuskan kesimpulan.

1) Merumuskan masalah
Berpikir ilmiah melalui metode ilmiah didahului dengan kesadaran
akan adanya masalah. Permasalahan ini kemudian harus dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya. Dengan penggunaan kalimat tanya diharapkan akan memudahkan orang yang melakukan metode ilmiah untuk mengumpulkan data yang dibutuhkannya, menganalisis data tersebut, kemudian menyimpulkannya. Perumusan masalah adalah sebuah keharusan. Bagaimana mungkin memecahkan sebuah permasalahan dengan mencari jawabannya bila masalahnya sendiri belum dirumuskan.
2) Merumuskan hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah yang masih memerlukan pembuktian berdasarkan data yang telah dianalisis. Dalam metode ilmiah dan proses berpikir ilmiah, perumusan hipotesis sangat penting. Rumusan hipotesis yang jelas dapat membantu mengarahkan pada proses selanjutnya dalam metode ilmiah. Sering kali pada saat melakukan penelitian, seorang peneliti merasa semua data sangat penting. Oleh karena itu, melalui rumusan hipotesis yang baik akan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data yang benarbenar dibutuhkannya. Hal ini disebabkan berpikir ilmiah dilakukan hanya untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
3) Mengumpulkan data
Pengumpulan data merupakan tahapan yang agak berbeda dari tahapan - tahapan sebelumnya dalam metode ilmiah. Pengumpulan data dilakukan di lapangan. Seorang peneliti yang sedang menerapkan metode ilmiah perlu mengumpulkan data berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskannya. Pengumpulan data memiliki peran penting dalam metode ilmiah sebab berkaitan dengan pengujian hipotesis. Diterima atau ditolaknya sebuah hipotesis akan bergantung pada data yang dikumpulkan.



4) Menguji hipotesis
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang telah diajukan. Berpikir ilmiah pada hakikatnya merupakan sebuah proses pengujian hipotesis. Dalam kegiatan atau langkah menguji hipotesis, peneliti tidak membenarkan atau menyalahkan hipotesis, tetapi menerima atau menolak hipotesis tersebut. Oleh karena itu, sebelum pengujian hipotesis dilakukan, peneliti harus terlebih dahulu menetapkan taraf signifikansinya. Semakin tinggi taraf signifikansi yang tetapkan maka akan semakin tinggi pula derajat kepercayaan terhadap hasil suatu penelitian. Hal ini dimaklumi karena taraf signifikansi berhubungan dengan ambang batas kesalahan suatu pengujian hipotesis itu sendiri.
5) Merumuskan kesimpulan
Langkah paling akhir dalam berpikir ilmiah pada sebuah metode ilmiah adalah kegiatan perumusan kesimpulan. Rumusan simpulan harus sesuai dengan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Kesimpulan atau simpulan ditulis dalam bentuk kalimat deklaratif secara singkat, tetapi jelas. Harus dihindarkan untuk menulis data-data yang tidak relevan dengan masalah yang diajukan, walaupun dianggap cukup penting. Hal ini perlu ditekankan karena banyak peneliti terkecoh dengan temuan yang dianggapnya penting, meski pada hakikatnya tidak relevan dengan rumusan masalah yang diajukannya.








2.3 FILSAFAT SAINS SEBAGAI  PENJABARAN PEMIKIRAN ILIMIAH DI KEHIDUPAN KAMPUS
Dalam berikipikir ilmiah, hendaknya di lakukan yang namanya filter. Hal ini di karenakan yang kita pikirkan belum tentu kebenarannya. Apalagi pemikiran kita terkait ilmu pengetahuan yang bersifat pasti. Tentu dari hal itu perlu adanya verifikasi.
Dalam penggolongan ilmu pengetahuan , dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat. Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999). Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi.
Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi definisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi). Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy. Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat.
Dalam kehidupan kampus, para aktor (mahasiswa) memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam filsafat sains. Hal ini disebabkan karena filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Sehingga para aktor dalam melakukan perannya hendaknya berfikir ilmiah dalam setiap tindakannya. Berikut beberapa syarat – syaratnya:
a.       Syarat pertama adalah logis. Dengan kata lain, kegiatan berpikir ilmiah
harus mengikuti suatu aturan atau memenuhi pola pikir (logika)
tertentu. Kegiatan penalaran yang digunakan si mahasiswa disebut logis  karena ia memenuhi suatu pola pikir induktifis atau pola pikir menggunakan observasi individual untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih general, dengan cara mengamati refleks si batita ketika diberikan sebilah pisau.
b.      Syarat kedua bagi kegiatan penalaran adalah analitis atau melibatkan suatu analisis menggunakan pola pikir (logika) tersebut. Ini berarti, jika mahasiswa psikologi hanya melihat si anak saat diberikan sebilah pisau tanpa melakukan analisis apa yang terjadi setelah itu dan tidak menggunakan pola pikir induktifisme dalam analisisnya, kegiatannya itu belum dapat disebut sebagai sebuah penalaran atau kegiatan berpikir ilmiah.
Dari penjelasan dan contoh tersebut, dapat diketahui bahwa dalam proses
berpikir sehari-hari, kita dapat membedakan berpikir ilmiah dari kegiatan yang
lain, yaitu berpikir non ilmiah. Terdapat dua contoh lain di mana sebuah kegiatan
berpikir tidak dapat disebut sebagai penalaran atau berpikir ilmiah.
a.       Berpikir dengan intuisi. Intuisi adalah kegiatan berpikir manusia yang melibatkan pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola pikir tertentu sehingga ia tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Namun, ketika ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar ketidaktenangan dirinya, sang Ayah tidak dapat menyebutkannya dan hanya beralasan bahwa perasaannya menyatakan ada yang tidak beres dengan si anak yang ada di luar kota. Setelah menyusul ke tempat anaknya, ternyata si anak sedang sakit parah. Meskipun proses berpikir sang Ayah mendapatkan kebenaran, tetapi tidak bisa disebut berpikir ilmiah karena tidak memenuhi suatu logika tertentu dan terlebih lagi tidak terdapat proses analitis terdapat peristiwa ini.
b.     Berpikir berdasarkan wahyu. Pengetahuan melalui wahyu juga tidak bisa memenuhi kegiatan penalaran. Alih-alih menggunakan pola pikir (logika) tertentu dan analisis terhadapnya, wahyu justru mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan bukan pada hasil aktif manusia. Dengan kata lain, melalui wahyu, akal manusia bersifat pasif dan hanya menerima sebuah kebenaran yang sudah ada (taken for granted) dengan keyakinannya. Sampai pada poin ini, perbedaan berpikir ilmiah dari berpikir non ilmiah memiliki perbedaan dalam dua faktor mendasar, yakni:
a)      sumber pengetahuan, berpikir ilmiah menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan pengalaman manusia, sedangkan berpikir non ilmiah (intuis dan wahyu) mendasarkan sumber pengetahuan pada perasaan manusia; serta
b)      ukuran kebenaran, berpikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya suatu pengetahuan, sedangkan berpikir non ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan pada keyakinan semata.
Uraian mengenai hakikat berpikir ilmiah atau kegiatan penalaran memperlihatkan bahwa pada dasarnya kegiatan berpikir adalah proses dasar dari
pengetahuan manusia. Dengan berpikir ilmiah kita dapat membedakan antara
pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan non ilmiah. Hanya saja, pemahaman
kita tentang berpikir ilmiah belum dapat disebut benar atau sahih sebelum
kita melakukan penyimpulan terdapat proses berpikir kita karena pengetahuan
sesungguhnya terdiri atas kesimpulan-kesimpulan dari proses berpikir kita.
Dengan kata lain, suatu pengetahuan ilmiah disebut sahih ketika kita melakukan
penyimpulan dengan benar pula. Kegiatan penyimpulan inilah yang disebut
logika. Dengan demikian, kita sudah mendapati hubungan antara syarat berpikir
ilmiah dan kegiatan penyimpulan. Keduanya sama-sama memenuhi suatu pola
pikir tertentu yang kita sebut logika.



















BAB III
PENUTUP
3.1     KESMPULAN
Adapun kesimpulan dari materi ini berdasrkan pembahasan adalah sebagai berikut:
1.      Filsafat sains merupakan kajian ilmu pengetahuan yang memikirkan akan alam besar. Selain itu, juga merupakan pemikiran ilmu yang sistematis dalam metode ilmiahnya. Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation, yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana. Tokoh – tokoh dalam filsafat sains yaitu Thales, Anaximandros, Phytagoras, Demokritus, dan Anaximenes.
2.      Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan atau menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan, dan penjelasan kebenaran. Langkah – langkah dalam berpikir ilmiah yaitu  merumuskan masalah, merumuskan hipotesis,  mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan.
3.      Dalam melakukan peranan mahasiswa maka harus berpikir logis dan analitis. Maksudnya adalah berpkir masuk akal dalam setiap tindakan dan





3.2     SARAN
Dalam sebuah karya pastilah memimliki kesalahan, walaupun seorang penulis dan penyusun bekerja semaksimal mungkin. Oleh karena itu, kami mengharapkan komentar, dan saran terkait makalah ini sehingga mendekat sempurna. Kami juga mengharapkan bahwa agar makalah ini digunakan sebagaimana mestinya.




















DAFTAR PUSTAKA
http://mkfilsafatsains.blogspot.co.id/2010/09/pengertian-filsafat-sains.html. Di akses tanggal 19 Maret 2018.
Malian, Sobirin. 2010. Perkembangan Filsafat Ilmu serta Kaitannya dengan Teori Hukum. Jurnal UNISIA, Vol. XXXIII No. 73. Di akses tanggal 17 Maret 2018.
Poedjiadi, Anna. Suwarma. 2007. Filsafat Ilmu. Universitas Terbuka: Jakarta.
Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB: Bogor.

Wahidin. 2017. Filsafat dan Sains dalam Pendidikan Bimbingan dan Konseling. Jurnal Fokus Konseling Vol. 3, No. 2. Di akses tanggal 17 Maret 2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

laporan praktikum kimia anorganik percobaan vii pemurnian nacl universitas halu oleo

sistem koordinat